Thursday, April 24, 2008

Memahami Islam Sebagai Peradaban

Dr. Imaduddin Khalil, intelektual Irak, saya kira, adalah salah seorang intelektual Islam terbaik saat ini. Pendekatannya memahami Islam dari pintu peradaban (termasuk sejarah sebagai bagian yang dominan) memberi optimisme untuk kebangunan kembali peran kepemimpinan Islam di tengah umat manusia.

Buku Madkhal ila al-Hadlarah al-Islamiyah (pengantar peradaban Islam) yang kita bedah ini adalah salah satu bukti pendekatan tersebut. Beliau memandang Islam sebagai peradaban yang komprehensif menata hidup, merambah dari akar keyakinan sampai dengan aturan praktis kehidupan sehari-hari.

Beliau menolak mendekati Islam secara parsial apalagi dikotomis yang memperhadapkan dunia dan akhirat, atau dalam dunia pengetahuan: ilmu agama dan ilmu umum (meminjam istilah yang lazim dipakai dalam terminologi pengetahuan di Indonesia).

Beliau memberi bukti teks agama, sejarah dan kenyataan sosial betapa Islam adalah sebuah peradaban yang lengkap; di situ ada sains, ekonomi, politik, militer, seni, budaya, gaya hidup dan seterusnya. Beliau tidak mau intelektual Islam identik dengan stereotype tokoh agama yang hidupnya hanya dari rumah ke mesjid dipakaikan pakaian yang membedakannya dari orang kebanyakan untuk membatasi perannya pada kotak tertentu. Beliau menginginkan Islam adalah kehidupan itu sendiri, tokoh Islam adalah tokoh yang bergerak berubah bersama denyut kehidupan itu sendiri.

Secara metodoligis buku ini cocok untuk para mahasiswa yang baru membaca tentang peradaban Islam karena sistematikanya mengalir dari kelahiran peradaban islam, ciri khasnya, kejatuhannya, kondisinya kini dan prediksinya ke depan. Bagi pembaca umum sekalipun, buku ini bisa mendekatkan mereka untuk memahami Islam dalam horizon yang lebih luas, bukan dikotak pada sisi tertentu dari kehidupan ini.

Saya selalu senang membaca karya-karya Dr. Imaduddin Khalil karena selain padat berisi, ia memberi inspirasi dan optimisme untuk masa depan umat Islam yang lebih baik.

Monday, April 14, 2008

Prof. El-Mehdi El-Menjra: Intelektual Kritis

Saya selalu senang dan kagum terhadap intelektual yang jujur dan berani. Apalagi kemudian, pikiran-pikiran sang intelektual sangat berpengaruh terhadap kehidupan umat manusia di sekelilingnya. Mungkin, jenis intelektual macam inilah yang disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, atau disebut Hasyim Saleh sebagai intelektual kritis.

Prof. Dr. el-Mehdi el-Menjra, saya kira, adalah salah satu intelektual jenis itu. Membaca karya-karya el-Menjra adalah membaca kegundahan bangsa-bangsa dari negara-negara yang dijajah dan baru merdeka secara fisik pada kisaran tengah abad ke-20. Bangsa-bangsa itu, kini, memasuki era poskolonialisme dengan penetrasi mantan penjajahnya yang masih besar ke jantung politik, ekonomi, kebudayaan, alam fikir dan gaya hidupnya.

Membaca karya-karya el-Menjra ibarat berendam di air dingin di tengah terik matahari: menyegarkan dan memberi kebeningan rasa. Lingkungan sekitar kita kini sangat-sangat tidak ramah; penuh polusi dan lebih sering terik karena cuaca yang berubah dipenuhi zat buangan dari mesin-mesin penggerek kapitalisme.

Abdul Karim Garib mengkhususkan satu buku untuk memotret simpul-simpul sikap dan pemikiran Prof. el-Menjra. Judulnya: Ma'a al-Mehdi al-Menjra (bersama el-Mehdi al-Menjra). Terbit pertama di Casablanca, 1428-2007.

Beberapa simpul pemikiran el-Menjra yang sempat saya tangkap dalam buku ini antara lain: 1. perang nilai adalah inti dari pertarungan umat manusia dari sejak perang terhadap Iraq 1991 dibawah inisiatif Presiden Bush Senior dan seterusnya.

2. Manusia kini telah berada di era masyarakat informasi sebagai kelanjutan dari masyarakat kapitalis akibat revolusi di bidang informasi dan telekomunikasi.

3. Pertaruhan hidup mati sebuah bangsa kini dan ke depan terletak pada kemampuannya untuk membuat manusia-manusia unggul secara keilmuan. Kekayaan alam dan material tidak akan berarti apa-apa jika manusia-manusianya tidak berkualitas. Produk-produk yang dibuat sekarang hanya menggunakan sedikit sekali bahan material dengan nilai keunggulan yang luar biasa.

4. Kemajuan sebuah bangsa harus didasarkan dari titik pijak identitas internalnya, orang Arab misalnya bisa maju jika seluruh produk pengetahuan dan basis kemajuannya berangkat dengan bahasa Arab, sebagaimana bangsa Jepang pernah membuktikannya.

5. Negara-negara penjajah akan terus melancarkan penundukannya terhadap bangsa-bangsa yang pernah dijajahnya (poskolonialisme) baik dengan hard power (kekuatan senjata) maupun soft power (kekuatan lobi dst). Dalam hal ini, mereka misalnya melancarkan perang semiotik dengan memproduksi kata-kata yang tanpa sadar digunakan juga oleh bangsa-bangsa dunia ketiga dengan makna yang telah dirubah menjadi berpihak terhadap kepentingan negara-negara kolonial tersebut, semisal kata: terorisme, islamis, timur tengah, perdamaian, dialog, pasar bebas, demokrasi dan seterusnya.

Masih banyak detil pikiran Prof. El-Menjra yang begitu asyik untuk diikuti karena bahasa yang berani, mengalir, penuh kejutan dan mencerahkan. Bagi siapapun yang membutuhkan bahan pembanding untuk memahami realitas kekinian kita, karya-karya Prof. el-Menjra, saya kira, menjadi bacaan wajib. Setidak-tidaknya, buku yang disusun Abdul Karim Garib ini bisa menjadi titik berangkat.

Sunday, April 13, 2008

Bersihkan Jiwa Kita

Membaca Tahdzibul Akhlaq-nya Ibnu Maskawaih adalah membaca diri sendiri.

Saya membaca halaman demi halaman buku ini dengan penuh ketakjuban: begitu tajam, mengalir, logis dan aplikabel.

Dalam banyak kesempatan, Prof. Mohamed Arkoun menyebut Ibnu Maskawaih sebagai ikon peradaban Islam yang menyumbang peran besar bagi umat manusia di zamannya. Kalau cendikiawan muslim masa kini mau ambil peran besar menata umat manusia zaman kini, spirit Ibnu Maskawaih wajib jadi acuan.

Dr. Faruq an-Nabhan, mantan Direktur Darul Hadits al-Hassaniyah Maroko pernah khusus membahas pikiran-pikiran Ibnu Maskawaih dalam pengajian Durus al-Hassaniyah di Istana Raja Maroko.

Pendidikan Islam, mengacu kepada Ibnu Maskawaih, terminal akhirnya adalah menyampaikan manusia kepada Tuhan. Untuk itu, tiga tabir penghalang --menurut Ibnu Maskawaih-- harus ditembus: pertama, perbuatan maksiat; kedua, keterkaitan hati dengan dunia, dan; ketiga, lemahnya himmah (semangat kerja keras) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Jika seseorang mau sampai kepada Tuhan, maka ia harus meninggalkan dosa-dosa, memutus keterkaitan hatinya dengan dunia materi dan meningkatkan terus menerus semangat dan kerja keras melakukan amal agama, betapapun beratnya.

Masih banyak detil soal-soal jiwa yang dibahas Ibnu Maskawaih dalam bukunya Tahdzibul Akhlaq ini. Untuk internalisasi, saya kira membaca buku ini tidak cukup hanya sekali tamat. Ia perlu dijadikan rujukan terus menerus dalam tata laku kehidupan sehari-hari, jika memang seseorang mau serius membersihkan jiwa agar bisa sampai kepada Sang Pencipta-nya.

Mengutip al-Jahidz: al-kitab khairu jaliisin fizzaman, buku adalah teman terbaik sepanjang masa.

Monday, April 7, 2008

Kebahagiaan

"Perasaan tenteram hampir terus menerus di dalam jiwa". Dr. Adnan Syarif, penulis buku "min ilm an-nafs al-qur'ani", mendefinisikan kebahagiaan.

Menurutnya, kebahagiaan macam ini hanya bisa dicapai ketika seseorang terbebas dari empat penyakit jiwa: komplikasi takut kematian, komplikasi keterkekangan seksual, komplikasi kekurangan fisik dan komplikasi kekurangan materi.

Empat penyakit inilah yang mewabahi manusia abad ke-21 ini. Komplikasi kekurangan materi melahirkan jiwa-jiwa yang kikir; komplikasi kekurangan fisik melahirkan manusia yang tidak pernah menerima diri sendiri; komplikasi keterkekangan seksual melahirkan para pengumbar syahwat dan komplikasi takut kematian melahirkan manusia yang –seperti penderita AIDS- kehilangan imunitas dari serangan penyakit-penyakit jiwa atau raga.

Usaha para ahli jiwa untuk mengobati empat komplikasi ini, menurut Adnan Syarif, banyak yang gagal karena mereka tidak berhasil mengobati akar penyakitnya, yaitu komplikasi takut kematian. Ia menyebut Sigmund Freud, pakar psikoanalisis, sebagai contoh betapa resep pengobatan penyakit jiwa yang ditawarkannya gagal menyentuh akarnya. Selama penghadapan terhadap kematian tidak menemukan solusi yang memuaskan, selama itu pula seseorang tidak bakal terbebas dari penyakit jiwa, ringan atau parah.

Penyikapan Islam terhadap kematian, menurutnya, adalah solusi paling tepat untuk mengurai komplikasi takut kematian itu. Apa sebab?. Karena Islam mengajarkan bahwa kehidupan yang sesungguhnya, bukan di dunia ini, tetapi di akhirat nanti: kehidupan setelah kematian. Maka sebagai alternatif kehidupan sementara ini, Islam meletakkan idealisme untuk meraih kehidupan sebaik-baiknya setelah kematian sebagai prioritas utama seorang muslim.

Akibatnya, segala kondisi jiwa dan raga yang dialami selama di dunia ini, akan didedikasikan sepenuhnya oleh seorang muslim yang benar demi kehidupan setelah kematian. Kematian lantas menjadi semacam pintu gerbang atau jembatan emas untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Inilah sumber ketenteraman yang hampir terus menerus itu. Dan itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Cobalah anda membaca buku ini. Saya kira, anda akan menemukan satu perspektif baru yang menjadikan kita enjoy menjalankan hidup ini, apapun situasinya.

Seni Menerung

Harun Yahya menulis buku "Seni Merenung". Aku membaca versi Arab-nya berjudul "Fan at-Taammul".

Kalau pembaca buku ini jujur maka ia pasti tersentil oleh buku ini. Aku merasakan membacanya seperti minum Sprite di siang bolong saat kehausan, ada tusukan-tusukan kecil yang mengasyikkan di tenggorokan. Buku ini menyisakan tusukan-tusukan kecil di hati untuk membuatnya kembali sadar agar balik ke kebeningan awalnya.

Harun Yahya berbicara tentang laba-laba yang merajut jaringan terkuat di dunia sebagai kediamannya. Ia berbicara tentang nyamuk kecil yang mampu mengepakkan sayapnya dengan amat cepat dan desain yang membuatnya bisa bergerak ke segala arah dengan enteng. Satu desain yang kalau bisa diaplikannya pada teknologi pembuatan helikopter, maka ia akan menjadi amat sangat canggih.

Harun Yahya masih berbicara tentang banyak obyek lain yang sangat kita akrabi sebagai tema perenungan. Segala sesuatu, sebenarnya, kalau direnungkan, akan mengantarkan seseorang kepada penciptanya. Mengakui kemahabesaran-Nya dan mensyukuri karunia-karunia-Nya.Aku jadi teringat dengan Ibnu Rusyd yang mengajukan teori 'ibda' (kreasi) sebagai perangkat argumentatif untuk membuktikan adanya Tuhan. Sebuah teori yang dengan memikat dijelaskan oleh Nadim al-Jisr dalam buku "Qisshat al-Iman"-nya.

Segala keteraturan, kedetailan, kecanggihan, keindahan, guna, yang terdapat pada segala makhluk di cakrawala ini dan relasi indah yang tertaut diantara mereka, tidak bakal ada tiba-tiba tanpa ada yang mengadakan dan mengaturnya. Dengan melongok ke dalam organ jasmaninya saja, seseorang yang jujur dan pintar merenung, pasti sampai pada Tuhan-nya. Maka biasanya, para ilmuan yang jujur pada ujungnya tidak kuasa untuk tidak mengakui ada kekuasaan luar biasa yang mengatur kerumitan, kecanggihan dan ketertataan jagat raya ini. Dan itulah Allah yang esa, berkuasa, penuh kasih, tiada sekutu bagi-Nya.

N.B: Anda bisa membaca karya-karya Harun Yahya di website-nya: www.harunyahya.com

Saturday, April 5, 2008

Fiqh Anti Trafiking

Pada sekitar tengah Januari 2007, saya tertumbuk pada laporan setengah halaman-an di Koran Internasional “as-Syarq al-Awsath” tentang trafiking anak. Anak-anak tak berdosa dari berbagai belahan dunia itu, oleh jaringan rapi trafiking dunia, diperjualbelikan untuk diambil organ tubuhnya. Mata, jantung, ginjal, hati, darah dan organ tubuh mereka lainnya diambil untuk dibeli oleh orang-orang kaya yang tergeletak sakit di rumah-rumah sakit besar di China, Amerika dan lain-lain buat bertahan hidup. Konon, nilai transaksi dari bisnis organ tubuh ini mencapai milyaran dolar Amerika per tahun.

BBC London pernah menelusuri cerita perdagangan perempuan dari Asia Tenggara untuk keperluan industri prostitusi di Jepang. Perempuan-perempuan sangat muda (terutama dari Thailand) itu termakan rayuan untuk mendapatkan pekerjaan yang menggiurkan di Jepang. Ternyata mereka dijual untuk kemudian dipaksa menjadi pelacur dengan keuntungan yang sebagian besar jatuh ke tangan para pengelola industri itu. Perempuan-perempuan itu dalam laporan tersebut tergambarkan sangat menderita karena terjebak ke dalam dunia hitam yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan.

Sudah bukan rahasia lagi, betapa banyak perempuan-perempuan Indonesia yang terpaksa menjadi pekerja tanpa dokumen resmi di negara-negara Timur Tengah karena terjebak rayuan gombal para pengerah tenaga kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan gaji besar. Mereka ini, sebagaimana di berbagai tempat tergambarkan dalam buku, sangat rentan menjadi korban tindak kejahatan seperti pemerkosaan, penyiksaan, pemaksaan untuk bekerja di luar batas kemanusiaan dan seterusnya. Kisah mengenaskan para tenaga kerja wanita di luar negeri yang gantung diri, terjun dari apartemen, disiksa majikan dan seterusnya masih menjadi berita yang entah kapan akan berakhir.

Kalau saja buku Fiqh Anti Trafiking ini memotret femonema trafiking –global dan lokal- disertai data dan fakta betapa dahsyatnya kejahatan di wilayah ini, tentu ia akan menjadi pemantik minat yang dramatis dan efektif untuk menggiring para pembaca menginternalisasi betapa gawatnya kejahatan trafiking itu. Bukankah, pekerjaan awal seorang faqih sebelum tanzil al-ahkam adalah memahami sedetil dan setuntasnya masalah yang hendak di-hukum-i? Ini yang belum terlihat tegas dan jelas dalam buku Fiqh Anti Trafiking yang sedang kita bedah ini. Apakah karena buku ini masih merupakan kerja rintisan dalam per-fiqh-an anti trafiking? Wallahu A’lam.

Gambaran yang lengkap tentang sisi-sisi trafiking ini, dalam benak saya, lantas akan meniscayakan penjelasan fiqhiyah yang tuntas: kasus per kasus, jengkal per jengkal wilayah trafiking untuk menghasilkan penjelasan yang genuine dari apa yang disebut fiqh (anti) trafiking itu. Namun, kesan saya sejauh membolak-balik halaman demi halaman buku, yang lebih menonjol adalah penjelasan yang diambil dari ketentuan-ketentuan hukum positif nasional atau internasional. Sehingga bukan fiqh dengan segala eksplorasi isthinbathiyah-nya yang dominan dalam halaman-halaman buku yang kita bedah ini.

Usul saya, tidakkah lebih juntrung secara metodologis misalnya, kalau penjelasan fiqh dipisahkan bab-nya dari penjelasan hukum positif. Siapa tahu, setelah kita berijtihad, ternyata justru basis-basis prinsip nilai fiqh lebih maju dari apa yang menjadi landasan hukum positif. Titik pijaknya kemudian lebih kuat. Disini kita akan bermain komparasi yang nantinya tidak hanya melibatkan diktum-diktum hukum, tetapi aqliyah dan kerangka sejarah bagaimana fiqh (anti) trafiking eksis dan bersikap dan bagaimana hukum positif tentang trafiking dirancang dan diundangkan. Akan terlihat kemudian, mana yang selaras dengan basis nilai dan aqliyah Islam (yang menjadi kerangka fiqh) dan mana yang tidak. Visinya, Islam kemudian tidak sekedar reservoir menjadi penerima (afirmasi, justifikasi) atau penolak (negasi, oposisi, kontra wacana), tetapi pemberi yang kreatif dan merubah.

Misalnya, perempuan dalam buku ini selalu diletakkan dalam posisi sebagai korban, tidak boleh dilarang bekerja, tidak boleh dilarang ke luar negeri untuk itu, harus mendapat keistimewaan cuti haid, melahirkan dan tugas biologis keperempuanan lainnya, dan segala upaya untuk memprotek perempuan “dicurigai” sebagai tindakan terhadap dan untuk membedakan (mendiskriminasi) perempuan. Persis gambaran keluarga atomik (a’ilah nawawiyah) barat dimana anggota-anggota dalam keluarga lebih sering berposisi saling berkonflik, ketimbang saling melindungi dan menyayangi. Apakah memang demikian pandangan genuine fiqh ketika dikembalikan pada basis-basis nilai peradaban Islam yang menjadi kerangka kerja seluruh institusi dalam masyarakat sesuai perspektif Islam. Perdebatan dalam masalah ini memang belum selesai hingga hari ini.

Sebagai kerja rintisan, Buku Fiqh Anti Trafiking ini, saya kira berhasil membuka labirin berlapis-lapis dalam kejahatan trafiking. Tidak kurang, dalam sebuah Resonansi-nya di Harian Republika, M. Syafii Maarif, mengapresiasi para penggagas dan penulis buku ini sebagai telah melakukan kerja yang sangat cerdas dan brilian.

Sebagaimana keinginan banyak pihak, konsep anti trafiking tidak boleh hanya selesai di aras konsep, tetapi bagaimana menterjemahkannya ke dalam kerja-kerja riil di masyarakat. Ibu Menteri Meutia Hatta, ketika tahun lalu berkunjung ke Rabat untuk sebuah konferensi tentang anak mengakui bahwa persoalan trafiking menjadi konsern prioritas di kementeriannya. Keterlibatan para intelektual, LSM, mahasiswa, kalangan pesantren, media dan seterusnya menjadi sangat penting dalam memerangi kejahatan terhadap kemanusiaan yang luar biasa ini.

Akhirnya, selamat untuk para penggagas dan penulis buku ini. Kerja-kerja lanjutan anda, kami tunggu untuk mengayakan wawasan, pengetahuan dan basis aksi untuk memerangi kejatahan trafiking dimanapun berada.

Friday, April 4, 2008

Menjadikan Islam sebagai Jawaban Kebuntuan Peradaban Barat

Judul Buku : Al-Haq al-Islami fi al-Ikhtilaf al-Fikri
Penulis : Dr. Thaha Abdurrahman
Penerbit : Al-Markaz ats-Tsaqafi al-Islami , Casablanca
Tahun Terbit : 2005, Cetakan I
Jumlah Halaman : 320


Buku yang kita bedah ini adalah respon langsung Dr. Thaha Abdurrahman terhadap unilateralisme Amerika. Unilateralisme ini ditandai dengan berkembangnya wacana benturan peradaban (Clash of Civilization), perang Afganistan dan Irak dengan dalih memerangi terorisme dan proyek Amerika untuk menata ulang peta timur tengah dan dunia Islam secara umum melalui pintu demokratisasi dan reformasi pendidikan.


Setelah keruntuhan Uni Soviet, Amerika menjadi satu-satunya negara super power di dunia. Kekuatannya ini membuatnya merasa sah untuk memaksakan nilai dan pemikirannya agar diadopsi oleh dunia. Ia merasa nilainya adalah nilai universal yang berlaku kapan dan dimana saja. Dr. Thaha menyebut ini sebagai kekerasan pemikiran (al-unf al-fikri) dan membuktikannya dengan bukunya ini sebagai kekeliruan. Sengaja Dr. Thaha memberinya judul: al-Haq al-Islami fi al-Ikhtilaf al-Fikri untuk menegaskan bahwa Islam sebagai nilai dan perilaku memiliki paket jawaban yang khas terhadap persoalan zaman ini.


Untuk menjelaskan jawaban ini, Dr. Thaha membutuhkan satu pengantar umum, tiga bab dan penutup. Kekhasan jawaban Islam berdiri di atas dua prinsip: prinsip perbedaan ayat yang melahirkan perbedaan ayat-ayat alam dan prinsip perbedaan manusia yang melahirkan umat-umat yang berbeda. Pada prinsip pertama, sepanjang buku, Dr. Thaha menjelaskan tentang bagaimana cara umat Islam berpikir dan pada prinsip kedua, bagaimana cara umat Islam berperilaku. Menurutnya, berpikir terbagi dua: berpikir tentang dunia yang bisa diindera yang disebutnya an-nadzr al-mulki dan berpikir tentang segala sesuatu dari aspek makna yang disebutnya an-nadzr al-malakuti. Sedangkan, perilaku juga terbagi dua: interaksi antar masyarakat baik dalam hal kebaikan atau keburukan yang disebutnya al-amal at-ta’awuni dan interaksi antar umat hanya dalam hal kebaikan yang disebutnya al-amal at-ta’arufi. Pada dasarnya, umat Islam menggunakan an-nadzr al-malakuti yang menjadi pijakan bagi an-nadzr al-mulki dalam berpikir dan al-amal at-ta’arufi yang menjadi pijakan bagi al-amal at-ta’awuni dalam bertindak atau berperilaku. Yang pertama, melahirkan iman dan yang kedua melahirkan akhlak yang terpuji.

Menurut Dr. Thaha jawaban Islam ini sejalan dengan prinsip-prinsip universalitas. Karena berpikir dengan cara malakuti menuntut seorang muslim untuk memikirkan sebanyak mungkin ayat. Sementara bertindak dengan cara ta’arufi menuntutnya untuk berinteraksi dalam kebaikan dengan sebanyak mungkin umat. Kekhasan jawaban Islam ini, menurutnya, hanya bertentangan dengan kondisi dunia saat ini (al-waqi’ al-kauni) yang didominasi oleh cara berfikir al-mulki dan cara bertindak at-ta’awuni yang dipakai oleh Amerika (pada fase sebelumnya, sejak kelahiran modernitas, oleh Eropa). Cara berpikir dan cara bertindak ini semata tidak butuh iman dan juga akhlak. Oleh karena itu pada bab pertama, Dr. Thaha mengkritik kondisi ini dari prespektif keimanan (bab ini diberinya judul: al-waqi’ al-kauni wa an-naqd al-imani) dan pada bab kedua, beliau mengkritiknya dari prespektif akhlak (bab ini diberinya judul: al-waqi’ al-kauni wa an-naqd al-akhlaqi). Bukan hanya kritik, tetapi Dr. Thaha berijtihad untuk memberikan alternatif Islam bagi tema yang dikritiknya.

Pada bab pertama, boleh dikata, Dr. Thaha membongkar isi kepala dan perilaku pongah Amerika yang paling mewakili kondisi dunia kontemporer. Ada tiga fokus perhatian disini: Pertama, menegaskan bahwa benturan nilai itu sebenarnya adalah penyakit internal yang dialami nilai-nilai Amerika yang dijangkitkannya ke luar untuk juga mencakup nilai-nilai dari umat lain. Kedua, menegaskan bahwa ada usaha sistematis dan berkelanjutan untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, pada fase kolonialisme fisik oleh Eropa dan kini oleh Amerika. Usaha itu, adalah istilah Dr. Thaha disebut: al-istitba’, at-takhrib, at-tanmith dan at-talbis. Semuanya dalam konteks nilai-nilai. Ketiga, usaha Amerika (intelektual dan pemerintahnya) untuk mengunggulkan nilai-nilai Amerika di hadapan nilai-nilai umat lain. Meskipun Dr. Thaha membuktikan, dengan analisisnya terhadap pernyataan 60-an intelektual Amerika yang menjustifikasi perang terorisme, kesalahan argumentasi mereka dalam membangun kesimpulan-kesimpulan mereka. Semua ini adalah refleksi dari eliminasi cara berfikir malakuti dalam ‘kamus’ pemikiran mereka.

Pada bab kedua, Dr. Thaha berbicara tentang penyakit akhlak yang dialami oleh kondisi riil dunia saat ini. Ada tiga tangga yang bersambung disini. Pertama, pada kondisi ketika perbedaan pemikiran masih bisa hidup, ada penyakit yang muncul yaitu wiqahat al-isti’la’, yaitu ketidakmauan untuk mengambil pelajaran dari nilai-nilai umat lain, meskipun hak mereka untuk berbeda tetap dihormati. Kedua, kondisi dualitas, seperti yang kini dipakai oleh Amerika, yang membagi umat dunia pada kami (kawan) dan mereka (lawan). Kondisi ini melahirkan penyakit wiqahat al-inkar, yaitu tidak mengakui hak umat lain untuk berbeda dengan nilai-nilai khasnya. Ketiga, kondisi monolitas yang terwakili oleh globalisasi. Globalisasi meniadakan, bahkan, hak hidup nilai yang berbeda (wiqahat al-ijtitsats). Nilai yang berhak hidup adalah nilai yang didiktekan oleh globalisasi. Nilai Islam yang ditawarkan oleh Dr. Thaha untuk keluar dari penyakit ini ialah prinsip malu (mabda’ al-haya’) pada tangga pertama, prinsip perjuangan akhlak (al-jihad al-akhlaki) pada tangga kedua dan prinsip kearifan (mabda’ al-hikmah) pada tangga ketiga.

Pada bab ketiga, Dr. Thaha menunjukan kapasitas kepemikirannya. Bab ini merupakan penjelasan lebih jauh dari dua jawaban Islam di muka: Iman yang dihasilkan oleh an-nadzr al-malakuti dan akhlak yang dibuahkan oleh al-amal at-ta’arufi. Bab ini diberinya judul: Taf’il al-Iman wa Ta’shil al-Akhlaq. Menurutnya, iman yang semata dihasilkan oleh pemikiran malakuti tidak cukup karena ia bisa menjadi sangat biasa sebagai keyakinan yang dihasilkan oleh pemikiran mulki. Iman harus diefektifkan dengan melaksanakan atau mempraktekkan ritual agama. Oleh karena itu, menurut beliau, pengefektifan atau penguatan ini harus dilakukan dengan dua macam jihad yang oleh beliau dinamakan al-jihad al-i’tiadi dan al-jihad al-irtiqa’i. Al-Jihad al-i’tiadi menurutnya adalah usaha biasa untuk menghindarkan manusia terjerembab ke kondisi tidak beda dengan hewan. Untuk menguatkan iman, seseorang butuh jihad yang lebih tinggi, yaitu al-jihad al-irtiqa’i: jihad yang timbul dari ruh dan mengaplikasikan nilai-nilai yang luhur dan perbuatan sehari-hari. Jihad ini membuahkan pendekatan diri kepada Allah dan kondisi seseorang yang eksistensi selalu bersambung dengan sang pencipta. Iman seperti ini disebut Dr. Thaha dengan al-iman al-malakuti al-hayy. Sedangkan berkaitan dengan penguatan akhlak, Dr. Thaha mengajukan jihad yang lebih tinggi lagi yaitu al-jihad al-iktimali: yaitu jihad yang melahirkan kesucian pada segala perbuatan pelakunya karena ia bersambung, pertama, dengan perbuatan-perbuatan Allah (af’al) dan, terakhir, dengan zat Allah. Disinilah, menurut Dr. Thaha, puncak universalitas (kauniyah) Islam itu, karena ia tidak hanya mencakup dunia kini tapi dunia kapan saja, tidak hanya alam manusia tapi alam apa dan siapa saja.

Dua kelebihan utama Dr. Thaha, pada karya ini dan juga karya-karyanya sebelunya: Pertama, kekuatan logika (manthiq), melahirkan istilah-istilah dan membuahkan konsep-konsep. Kedua, kekuatan bahasa. Bahasa Arab-nya mengingatkan kita dengan karya-karya ulama pada masa keemasan Islam, bukan bahasa arab yang sudah sedemikian kental unsur masukan (dakhil)-nya. Kemampuan bahasa ini jugalah yang memberinya keluasan referensi dengan bacaan karya-karya dalam bahasa Perancis, Inggris, Jerman dan lain-lain. Keunggulan metodologis dan penyajian buku juga terlihat pada jarangnya –atau bahkan hampir tidak ada—kutipan-kutipan langsung yang kadang mengganggu kenikmatan membaca. Karya Dr. Thaha, saya kira, lahir setelah bacaan-bacaannya dikawinkan dengan perenungangannya dalam sublimasi kreatif yang ujung-ujung melahirkan karya bagus.

Catatan kritik, barangkali, ialah jarak yang masih terlalu jauh antara pemikiran-pemikiran Dr. Thaha dengan kenyataan, meskipun sudut pandangnya adalah “apa yang seharusnya ada” bukan “apa yang senyatanya ada”. Siapakah misalnya yang hendak mendirikan universitas dunia dan media berskala besar untuk mempersiapkan kader dan menyebarkan jawaban Islam terhadap persoalan zaman, sebagaimana yang beliau usulkan?. Meskipun beliau berbicara tentang Islam yang indah di konsep, tetapi bagaimana gerangan melampaui keadaan umat Islam, yang beliau akui sendiri, yang lemah dan dilemahkan, baik dari sisi politik, ekonomi, apalagi media. Bagaimana mungkin menyebarkan nilai dan konsep Islam tanpa atmosfer yang mendukung ke arah itu?. Catatan lain, tentu masih bisa kita kembangkan. Yang jelas, bagi anak muda yang suka berpikir dan bergerak, buku ini layak menjadi bacaan wajib.

Agama

Dr. Abdullah Darraz (1894-1958 M) menulis tentang agama dalam buku yang diberinya judul: ad-Din Buhuts Mumahhidah li Dirasat Tarikh al-Adyan. Buku ini kalau mengikut slogan TEMPO, 'enak dibaca dan perlu'.

Darraz berhasil menulis soal-soal mendalam dengan bahasa yang mudah dinikmati. Beliau berhasil memainkan multi peran dalam buku ini: pemikir, da'i, guru dan penghibur.

Pengalamannya belajar lama di Universitas Sorbonne Perancis memberinya keluasan penguasaan literatur barat. Penguasaan Bahasa Perancisnya yang bagus memungkinkannya membaca karya-karya sarjana barat tentang agama. Nama-nama semacam Emanuel Kant, Auguste Comte, Emile Durkheim dan lain-lain, tidak lagi asing baginya.

Sebagaimana akar keluarga, lingkungan dan negara asalnya (Mesir), memungkinkannya menjadi sosok yang kuat dan tidak mudah silau dengan gemerlap peradaban barat. Pendidikan agama yang didapatnya sejak kecil sampai lulus dari Universitas al-Azhar memberinya bekal yang cukup untuk berdialog dengan pemikiran dan peradaban apapun.

Dua latar belakang pendidikan inilah yang terlihat sangat kuat dipamerkan buku ad-Din. Paparan Darraz dalam buku ini terasa kuat dan memikat. Kata 'mumahhidah' (pengantar) yang diintrodusirnya dalam judul buku betul-betul dibuktikannya sampai akhir buku. Untuk tema sebesar agama, pengantar setebal 259 halaman terasa wajar diberikan.

Intinya, Darraz hendak mengatakan bahwa agama memiliki akar yang dalam dan jauh dalam sejarah umat manusia, sejak ribuan tahun sebelum masehi. Agama menghunjam kuat dalam fitrah manusia. Agama terus lahir dalam komunitas manusia dari yang paling primitif hingga yang paling canggih. Oleh karena itu, setiap upaya untuk menafikan agama atau 'membunuh' Tuhan, menurutnya, selalu berakhir dengan kegagalan.

Agama lahir dari pertanyaan paling mendasar soal hidup; soal manusia, dari mana ia datang dan kemana ia bakal kembali. Agama lahir dari ketakjuban tak habis-habis terhadap ketertataan alam mikro (dalam diri manusia) dan makro (luar diri manusia) yang tidak mungkin terjadi tanpa ada yang mengatur. Agama lahir dari perburuan ujung hakikat segala sesuatu. Manusia mencarinya melalui filsafat. Manusia mencarinya melalui sihir. Tetapi manusia mendapatkan jawaban kepuasan pada agama.

Agama adalah keyakinan pada sesuatu yang maha agung, yang maha perkasa, yang maha mengetahui, yang maha suci, yang maha merawat alam ini dengan penuh perhatian, yang maha esa dan oleh karena itu, Dialah satu-satunya yang berhak disembah. Untuk itulah ritus-ritus ada. Bahkan, para penyembah batu pun sesungguhnya bukan menyembah batu kasat mata yang tidak mengerti apa-apa. Disinilah inti agama-agama manusia. Disinilah wilayah pencariannya dengan tingkat benar salah yang berbeda-beda.

Ini adalah milik bersama (qaasim musytarak) semua agama. Para pemeluk agama dengan suka rela tunduk kepada (pemilik) kekuatan yang tiada tandingnya. Kekuatan yang memaksa segala sesuatu untuk tunduk-pasrah, suka atau tidak (QS: ar-Ra’d, 15). Ketundukan suka rela ini melahirkan gerakan jiwa untuk mengagungkan, mensucikan, menyembah dan mengasyiki sang pemilik kekuatan dalam campuran rasa antara harapan dan kecemasan, antara senang dan takut di hadapan perputaran segala peristiwa. Inilah dia kondisi jiwa orang beragama.

Agama dengan demikian adalah pemenuhan terhadap tiga potensialitas manusia: potensi nalar (quwwat al-aql), potensi rasa (quwwat al-wijdan) dan potensi kehendak (quwwat al-iradah). Manusia membutuhkan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan mendalamnya (ultimate questions) soal sumber kehidupan; ia membutuhkan pelabuhan bagi rasa cinta, rindu, syukur, malu, harap dst yang bersemayam di lubuh hatinya; ia membutuhkan sandaran kuat untuk menghantam keputusasaan yang kadang menderanya. Agama menyediakan fungsi-fungsi ini. Oleh karena itu, kata Darraz, kalau ada yang mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan yang berfikir’ atau ‘hewan yang memilik watak sosial’, maka ia juga bisa disebut dengan ‘hewan yang beragama dengan tuntutan fitrahnya (hayawan mutadayyin bi fithratih)’.

Bagaikan akar, agama menghunjam ke dasar terdalam dari identitas manusia. Kalau filsafat berujung pada pengetahuan, agama berujung pada iman. Kalau filsafat adalah refresentasi dari kata "tahu", maka iman memanifestasikan "rasa". Dalam jiwa, filsafat selesai sebagai pengetahuan, tetapi iman merasuk menjadi apa yang dirasakan. Alangkah jauh beda antara tahu tentang lapar dan betul-betul merasakan kelaparan.

Oleh karena itu, pertautan antara orang beragama dengan sumber segala hakikat (akhir perburuan agama dan filsafat) amat sangat kuat. Jauh lebih kuat dari yang dihasilkan oleh filsafat. Ini melahirkan komitmen yang kuat pada diri orang beragama untuk terikat dengan tuntutan kebenaran, pemeliharaan moralitas dan penjagaan kohesifitas antar sesama. Dan ini adalah jaminan kuat bagi munculnya tatanan sosial yang kokoh dan tidak mudah berai oleh guncangan dalam bentuk apapun. Sebab yang mengikat antar individu dalam masyarakat adalah ikatan ruhani.

Kata Darraz, "agama bagi masyarakat adalah sebagaimana hati bagi badan". Agama memberikan identitas sekaligus gerak hidup (hayawiyah) yang sangat kuat bagi sebuah komunitas sosial. Ini bukan hanya klaim kaum agamawan. Tetapi saintis, panglima perang dan pemimpin negara pun mengafirmasinya. Mengutip mantan Presiden Amerika, Wilson, tulis Darraz, "selama peradaban kita tidak diisi dengan spiritualitas, ia tidak akan mampu bertahan hanya dengan materialismenya. Ia tidak akan selamat kecuali jika ruh agama mengalir dalam tubuhnya…". Dalam konteks ini, Abdullah Darraz, membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa nasionalisme yang tidak berpijak pada dataran moral dan agama yang kuat hanya sedang menunggu keruntuhannya.

Oleh karena agama adalah ‘hati’-nya komunitas manusia, maka sejarah agama adalah sejarah manusia itu sendiri. Para pakar mencoba untuk menjelaskan fenomena agama; dari mana munculnya dan kemana arah ujungnya. Disini lagi-lagi terlihat kemampuan Darraz untuk mengeksplorasi apa yang para pakar (sekaligus mazhabnya masing-masing) pernah teorikan tentang agama. Untuk menyebut sejumlah nama, di sini ada, Spencer, Tylor, Frazer, Durkheim (untuk teori evolusi dari politeisme ke monoteisme); Lang, Sheroeder, Brockelman, La Roy, Quatre Fages, Schmidt (untuk teori keaslian monoteisme). Bersamaan dengan bercabang-nya mazhab-mazhab para pakar tentang agama ini, Darraz tidak mencukupkan diri hanya dengan pemaparan, tetapi lebih dari itu kritik dan pikiran alternatif.

Itulah yang dilakukannya, ketika di pasal terakhir dari bukunya ini, Abdullah Darraz memberikan tilikan komprehensif yang dimaksudkannya sebagai alternatif dari pendapat para pakar yang sudah ditampilkan dan dikritisinya. Yang sangat menarik, ide-nya ini dirakitnya dari ayat-ayat al-Qur’an yang –meskipun tidak dikatakannya—menegaskan bahwa kita telah dicukupkan oleh al-Qur’an dari pendapat-pendapat para pakar itu, asal kita bisa membaca dan memahaminya.

Kesalahan terbesar para penganut mazhab-mazhab ini adalah ketika mereka mengabsolutkan pendapatnya masing-masing. Padahal hakikatnya, apa yang mereka tempuh adalah salah satu pintu menuju Tuhan. Oleh karena itu, dua premis yang ditawarkan Darraz adalah: 1. Bahwa tanda-tanda (ayaat) ketuhanan tersebar dalam segala sesuatu. 2. Bahwa setiap orang atau komunitas dapat menempuh jalannya sendiri dengan mengambil sebagian dari tanda-tanda tersebut untuk sampai kepada Tuhan. Dari fenomena keserbanekaan tanda dan cara inilah, al-Qur'an merangkum (bahkan menambah unsur baru) pokok-pokok pikiran yang dimunculkan oleh segala mazhab tentang ketuhanan yang pernah muncul dalam sejarah agama.

Setelah menampilkan ayat demi ayat yang menunjukkan keserbanekaan ini, Darraz berkesimpulan: "Demikianlah, al-Qur'an mempertemukan pendapat dan cara pandang para pakar yang berserak dan terpecah-pecah itu. Oleh karena itu, intelektual yang jujur tidak bakal kuasa selain mengakui bahwa ini adalah bukti baru betapa al-Qur'an bukanlah refleksi dari kejiwaan seseorang, bukan cermin dari cara berfikir sekelompok orang, bukan dokumen sejarah era tertentu, tetapi ia adalah kitab dan referensi kemanusiaan yang terbuka. Betatapapun berjaraknya tempat dan waktu; betapapun pluralnya ras, warna kulit dan bahasa; betapapun berbedanya pandangan dan kecenderungan, setiap pencari kebenaran akan menemukan di dalam al-Qur'an, jalan terang benderang yang menunjukinya kepada Allah". (h 235).

Di Lahore, Pakistan, tanggal 16 Jumad at-Tsani 1377 H/Januari 1958 M, di tengah berlangsungnya seminar internasional tentang agama-agama, secara mengejutkan, Dr. Abdullah Darraz menghembuskan nafas terakhir dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa, tetap dalam keyakinan bahwa Islam berada di garda depan dalam seruannya kepada pemeluk agama-agama untuk bergandengan tangan menegakkan keadilan, keamanan dan perdamaian dunia.

Maroko yang Berubah

Belum setahun saya meninggalkan Maroko dan ketika kembali saya terheran-heran mendapati Tetouan, kota di Maroko utara tempat saya belajar, telah berubah kontras.

Jalan-jalan lebar dan mulus menyambung titik-titik hunian dan tempat-tempat wisata. Trotoar yang rapi dan bersih memanjakan para pejalan kaki. Gedung-gedung apartemen menjulang anggun di beberapa pinggir ruas jalan utama. Taman-taman kota tertata rapi dan indah dengan ruang terbuka menyambut angin bersih dan bersahabat buat membuang penat.

Maroko menggeliat berubah menata diri.

Ketika Raja Muhammad VI ditanya apa yang membedakannya dengan mendiang Raja Hassan II, pendahulunya, jawabnya: "jika ayah saya (Raja Hassan II) terkenal dan mendapat tempat di hati bangsa Arab dan muslim di luar negeri, maka saya ingin mendapat hati dan dicintai setiap rakyat Maroko".

Inilah visi era baru Maroko, era kepemimpinan Raja Muhammad VI.

Buku ini memotret dengan sangat baik peralihan dan perubahan yang terjadi dari Raja Hassan II ke Raja Muhammad VI. Wilayah perhatiannya pun lengkap membentang dari soal pembangunan infrastruktur, rekonsiliasi nasional, kebebasan berserikat, kebebasan pers, pemberdayaan masyarakat miskin, pemberantasan buta hurup, reformasi lembaga-lembaga agama dan hubungan yang lebih cair antara raja dan rakyatnya.

Dengan latar pengalaman sebagai wartawan, penulis buku yang dalam bahasa Arab-nya berjudul: al-Magrib fi 'Ahd Muhammad as-Sadis Madza Tagayyar ini berhasil membuat paparannya mengalir layaknya air bening sungai dengan suara gemericiknya yang membuat kita betah berlama-lama menikmatinya.

Buku ini salah satu bacaan wajib siapa saja yang hendak mengetahui perubahan-perubahan penting yang terjadi di Maroko dalam hampir satu dekade belakangan ini.

Dua Jenis Cinta

Buku ini harus dibaca oleh siapapun yang mau mengenal cinta. Pertanyaan tentang apakah cinta itu, belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Setiap orang akan menjawab dengan definisi yang dirasakannya sendiri ketika bergaul dengan cinta. Ada orang yang mengagungkannya tetapi ada juga yang merendahkannya. Ada yang merasakan manisnya namun ada juga yang menelan pahitnya. Seribu satu rasa, seribu satu definisi cinta.

Tetapi tidak dengan buku ini. Dengan kedinginan seorang filosof, obyektifitas seorang ilmuan dan kebeningan seorang seniman, Dr. Sadiq Jalal al-Adzm membongkar dua karakter cinta, dengan apa yang disebutnya sebagai “Cinta dan Cinta Sejati” atau “Cinta dan Cinta Perawan” atau (dalam bahasa Arabnya) “al-Hubb wa al-Hubb al-Udzari”.

Dr. Sadiq berhasil membongkar dua topeng pecinta. Yang satu disebutnya: Syariat al-Imtidad; kecenderungan cinta yang taat aturan, stabil, berkesinambungan, rutin, berisi hak dan tanggung jawab yang terukur, anak sah tradisi dan aturan sosial, melembaga dalam bangunan pernikahan dan menjadi unit terkecil dari bangunan sebuah masyarakat atau bangsa. Sedangkan yang satu lagi disebutnya: Syariat al-Isytidad; sifat cinta yang dahsyat, penuh kejutan, tidak mengenal kesetiaan, egoistik, memberontak aturan, penuh kemabukan, putus-sambung, anti lembaga pernikahan dan tidak peduli dengan tradisi dan harmoni.

Dr. Sadiq membongkar dua turas (warisan karya) cinta sekaligus: Arab dan Eropa. Tokoh Don Juan (dan Don Juanita) adalah sosok sentral pada tradisi cinta Eropa Barat. Satu sosok play boy (atau play girl) yang memburu kedahsyatan cinta dengan pertaruhan hidup mati. Inilah pecinta sejati yang hidup dalam buku, teater dan film-film barat yang bercerita misalnya tentang kisah cinta Romeo and Juliette. Sebuah kisah cinta yang penuh petualangan, tipu daya dan pemberontakan terhadap aturan sosial.

Sementara dalam tradisi percintaan Arab, sosok Jamal dan Butsainah adalah dua pecinta sejati yang menjadikan pasangan sah mereka sekedar sebagai pecundang dan alasan penghalang melanjutkan hidup cinta sejati mereka yang tidak pernah mau berakhir pada lembaga pernikahan. Pecinta macam ini memandang lembaga pernikahan sebagai lonceng kematian bagi karakter cinta mereka. Untuk keperluan ini, Dr. Sadiq membongkar karya-karya al-Jahidz, Ibnu al-Jauzi, Ibnu Hazm yang bercerinta tentang cinta dalam tradisi Arab.

Dari bagian pengantar sampai penutup, Dr. Sadiq Jalal al-Adzm memaparkan dengan kemahiran seorang pekerja filsafat dan seni sekaligus bagaimana dua karakter cinta ini bergolak dan berpetualang dalam kehidupan manusia. Tetapi pada saat yang sama, keduanya bisa digambarkan lebih terukur dan terdefinisi.

Saya kira, keunggulan buku ini terletak pada perpaduan karakter filsafat dan seninya itu. Cinta kemudian bisa dikemas di dalam kotak yang jelas, dibongkar topeng kepalsuannya dan diungkap karakter dan tipu daya yang sesungguhnya.

Hati-hati dengan sergapan cinta. Kalau mau selamat, baca dulu buku ini!

Dunia Tidak Selebar Daun Kelor

"Dunia tidak selebar daun kelor", begitu kita sering dinasehati ketika gagal. Ya, memang betul dunia tidak selebar daun kelor.

Buku Dr. Ali Wardi yang berjudul "Khawariq al-Lasyuur" ini memberi kita penjelasan memadai.

Setelah membaca buku ini, saya sering ketawa sendiri, menyadari bahwa manusia --dengan akal sadarnya-- sebenarnya tidak beda dengan kuda yang diberi kaca mata untuk membuatnya tidak bergerak tanpa kendali. Manusia memang memerlukan akal sadar, akal sehat, akal rasional atau apapun lah namanya untuk fokus terhadap pekerjaan-pekerjaannya. Akal sadar itu ibarat kaca mata kuda. Dia fokus, terbatas, memiliki klaim kebenaran sendiri dan harus dipakai untuk membuat kehidupan manusia di muka bumi ini tidak kacau.

Tapi akal sadar sama sekali bukan hakikat. Ia ibarat selembar daun kelor jika dibandingkan dengan dunia akal bawah sadar atau lebih (luas) dari itu akal universal. Dua akal belakangan inilah yang menampung semua data --positif dan negatif-- yang dialamai manusia dari lahir sampai mati atau lebih luas dari itu, dari sejak manusia ada dengan segala eksperimentasinya.

Maka, semata-mata mengandalkan akal sadar, logika, sama sekali tidak memadai. Diperlukan kembali ke akal bawah sadar untuk membuat karya-karya besar dan mencapai sukses-sukses besar.

Buku ini mengungkap bagaimana dunia dan tabiat berpikir manusia jenius. Manusia jenius, jauh lebih mengandalkan rasa (akal bawah sadarnya) ketimbang akal sadarnya. Dari situlah karya-karya besar mengalir.

Maka mengalirlah. Ikuti apa kata hati. Terus pelihara cita-cita dan mimpi yang sudah kita angan-angankan sejak kecil, betapapun tidak masuk akalnya.

Membaca buku ini membuat saya memasuki dunia baru yang lebih mengasyikkan. Menjadi sadar bahwa dunia itu berlapis-lapis dari yang sempit sampai yang maha luas. Menyadari bahwa tidak adil memandang manusia hanya dari akal sadarnya. Contoh-contohnya juga banyak menyentil dan bernuansa anekdot.

Anda tidak akan rugi meluangkan waktu untuk membaca buku ini meskipun ia buku lama dan penulisnya sudah bergelar almarhum. Insya Allah, tidak akan ada lagi stress, gelisah atau semacamnya apapun masalah hidup yang kita hadapi. Kita akan terampil menjalankan hidup.

Karya Lengkap Syaikh Muhammad Abduh

Buku Terakhir yang aku baca adalah kumpulan karya Syeikh al-Imam Muhammad Abduh. Dr. Muhammad Imarah mengumpulkannya dalam lima jilid, meletakkan dalam bab-bab yang masuk akal, memastikan teks yang betul-betul karya Muhammad Abdul dan mana yang ditulis orang lain.

Dalam pengantarnya, Muhammad Imarah menyebut bahwa karena diuntungkan oleh pembacaan yang tuntas terhadap karya-karya Muhammad Abduh, karya-karya para penulis tentang beliau dan berbagai review dan komentar terhadap karya atau pendapat beliau di media massa, maka beliau (M. Imarah) berhasil menuliskan dengan singkat, padat, tajam dan jernih perjalanan hidup Syeikh al-Imam Muhammad Abduh yang penuh dengan kontribusi bagi reformasi dunia Arab-Islam, terutama di Mesir.

Tergambar juga bagaimana pasang surut hubungan sang Syeikh dengan Syeikh Jamaluddin al-Afgani, tokoh yang disebutnya sebagai guru. Menurutnya, kalau orang tua hanya mengenalkannya dengan saudara-saudara sekandungnya, namun Syeikh Jamaluddin mengenalkan dengan Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad (para nabi, semoga kasih sayan Allah dan kedamaian buat beliau-beliau semua).

Dua tokoh ini, sampai saat ini, masih sangat mempengaruhi pemikiran dan gerakan Islam di berbagai negara di dunia ini.

prolog

Al-Jahidz pernah berkata, "buku adalah teman terbaik sepanjang masa". Blog ini saya khususkan untuk memuat pandangan saya soal buku-buku yang pernah saya baca.