Saturday, April 5, 2008

Fiqh Anti Trafiking

Pada sekitar tengah Januari 2007, saya tertumbuk pada laporan setengah halaman-an di Koran Internasional “as-Syarq al-Awsath” tentang trafiking anak. Anak-anak tak berdosa dari berbagai belahan dunia itu, oleh jaringan rapi trafiking dunia, diperjualbelikan untuk diambil organ tubuhnya. Mata, jantung, ginjal, hati, darah dan organ tubuh mereka lainnya diambil untuk dibeli oleh orang-orang kaya yang tergeletak sakit di rumah-rumah sakit besar di China, Amerika dan lain-lain buat bertahan hidup. Konon, nilai transaksi dari bisnis organ tubuh ini mencapai milyaran dolar Amerika per tahun.

BBC London pernah menelusuri cerita perdagangan perempuan dari Asia Tenggara untuk keperluan industri prostitusi di Jepang. Perempuan-perempuan sangat muda (terutama dari Thailand) itu termakan rayuan untuk mendapatkan pekerjaan yang menggiurkan di Jepang. Ternyata mereka dijual untuk kemudian dipaksa menjadi pelacur dengan keuntungan yang sebagian besar jatuh ke tangan para pengelola industri itu. Perempuan-perempuan itu dalam laporan tersebut tergambarkan sangat menderita karena terjebak ke dalam dunia hitam yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan.

Sudah bukan rahasia lagi, betapa banyak perempuan-perempuan Indonesia yang terpaksa menjadi pekerja tanpa dokumen resmi di negara-negara Timur Tengah karena terjebak rayuan gombal para pengerah tenaga kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan gaji besar. Mereka ini, sebagaimana di berbagai tempat tergambarkan dalam buku, sangat rentan menjadi korban tindak kejahatan seperti pemerkosaan, penyiksaan, pemaksaan untuk bekerja di luar batas kemanusiaan dan seterusnya. Kisah mengenaskan para tenaga kerja wanita di luar negeri yang gantung diri, terjun dari apartemen, disiksa majikan dan seterusnya masih menjadi berita yang entah kapan akan berakhir.

Kalau saja buku Fiqh Anti Trafiking ini memotret femonema trafiking –global dan lokal- disertai data dan fakta betapa dahsyatnya kejahatan di wilayah ini, tentu ia akan menjadi pemantik minat yang dramatis dan efektif untuk menggiring para pembaca menginternalisasi betapa gawatnya kejahatan trafiking itu. Bukankah, pekerjaan awal seorang faqih sebelum tanzil al-ahkam adalah memahami sedetil dan setuntasnya masalah yang hendak di-hukum-i? Ini yang belum terlihat tegas dan jelas dalam buku Fiqh Anti Trafiking yang sedang kita bedah ini. Apakah karena buku ini masih merupakan kerja rintisan dalam per-fiqh-an anti trafiking? Wallahu A’lam.

Gambaran yang lengkap tentang sisi-sisi trafiking ini, dalam benak saya, lantas akan meniscayakan penjelasan fiqhiyah yang tuntas: kasus per kasus, jengkal per jengkal wilayah trafiking untuk menghasilkan penjelasan yang genuine dari apa yang disebut fiqh (anti) trafiking itu. Namun, kesan saya sejauh membolak-balik halaman demi halaman buku, yang lebih menonjol adalah penjelasan yang diambil dari ketentuan-ketentuan hukum positif nasional atau internasional. Sehingga bukan fiqh dengan segala eksplorasi isthinbathiyah-nya yang dominan dalam halaman-halaman buku yang kita bedah ini.

Usul saya, tidakkah lebih juntrung secara metodologis misalnya, kalau penjelasan fiqh dipisahkan bab-nya dari penjelasan hukum positif. Siapa tahu, setelah kita berijtihad, ternyata justru basis-basis prinsip nilai fiqh lebih maju dari apa yang menjadi landasan hukum positif. Titik pijaknya kemudian lebih kuat. Disini kita akan bermain komparasi yang nantinya tidak hanya melibatkan diktum-diktum hukum, tetapi aqliyah dan kerangka sejarah bagaimana fiqh (anti) trafiking eksis dan bersikap dan bagaimana hukum positif tentang trafiking dirancang dan diundangkan. Akan terlihat kemudian, mana yang selaras dengan basis nilai dan aqliyah Islam (yang menjadi kerangka fiqh) dan mana yang tidak. Visinya, Islam kemudian tidak sekedar reservoir menjadi penerima (afirmasi, justifikasi) atau penolak (negasi, oposisi, kontra wacana), tetapi pemberi yang kreatif dan merubah.

Misalnya, perempuan dalam buku ini selalu diletakkan dalam posisi sebagai korban, tidak boleh dilarang bekerja, tidak boleh dilarang ke luar negeri untuk itu, harus mendapat keistimewaan cuti haid, melahirkan dan tugas biologis keperempuanan lainnya, dan segala upaya untuk memprotek perempuan “dicurigai” sebagai tindakan terhadap dan untuk membedakan (mendiskriminasi) perempuan. Persis gambaran keluarga atomik (a’ilah nawawiyah) barat dimana anggota-anggota dalam keluarga lebih sering berposisi saling berkonflik, ketimbang saling melindungi dan menyayangi. Apakah memang demikian pandangan genuine fiqh ketika dikembalikan pada basis-basis nilai peradaban Islam yang menjadi kerangka kerja seluruh institusi dalam masyarakat sesuai perspektif Islam. Perdebatan dalam masalah ini memang belum selesai hingga hari ini.

Sebagai kerja rintisan, Buku Fiqh Anti Trafiking ini, saya kira berhasil membuka labirin berlapis-lapis dalam kejahatan trafiking. Tidak kurang, dalam sebuah Resonansi-nya di Harian Republika, M. Syafii Maarif, mengapresiasi para penggagas dan penulis buku ini sebagai telah melakukan kerja yang sangat cerdas dan brilian.

Sebagaimana keinginan banyak pihak, konsep anti trafiking tidak boleh hanya selesai di aras konsep, tetapi bagaimana menterjemahkannya ke dalam kerja-kerja riil di masyarakat. Ibu Menteri Meutia Hatta, ketika tahun lalu berkunjung ke Rabat untuk sebuah konferensi tentang anak mengakui bahwa persoalan trafiking menjadi konsern prioritas di kementeriannya. Keterlibatan para intelektual, LSM, mahasiswa, kalangan pesantren, media dan seterusnya menjadi sangat penting dalam memerangi kejahatan terhadap kemanusiaan yang luar biasa ini.

Akhirnya, selamat untuk para penggagas dan penulis buku ini. Kerja-kerja lanjutan anda, kami tunggu untuk mengayakan wawasan, pengetahuan dan basis aksi untuk memerangi kejatahan trafiking dimanapun berada.

No comments: